" STOP ILEGAL LOGGING, REMEMBER GLOBAL WARMING "




Kamis, April 14, 2011

Logo Perhutani Baru



Didorong oleh komitmen PERUM PERHUTANI untuk mengeksplorasi lebih jauh diluar pengelolaan kehutanan yang ada saat ini, kami adalah perusahaan
pengelola kehutanan kelas dunia yang berdedikasi untuk senantiasa
meningkatkan nilai hutan Indonesia dengan mengembangkan produk dan layanan yang relevan dan kreatif.
Kami bertekad untuk memberi inspirasi dan meningkatkan kualitas hidup
seluruh pemangku kepentingan PERUM PERHUTANI dengan tujuan
mensejahterakan kehidupan dan mencerahkan masa depan demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Brand positioning Creative Sustain ability sangat penting dalam mewujudkan
masa depan yang lebih baik untuk bangsa kita, terutama terkait dengan
ketahanan FEW (Food, Energy, Water) di mana hutan Indonesia memegang
peranan penting di konteks lokal di daerah, namun juga bagian besar dari
ekosistem bumi.

Oleh karena itu, identitas korporasi atau Corporate Identity dari Perum
Perhutani merupakan simbol baru yang melambangkan laju transformasi yang
terus-menerus dilakukan Perusahaan dalam menghadapi berbagai tantangan masa
kini, yang mengacu pada People - Planet - Profit yang merupakan pendekatan
dasar Perum Perhutani.

Warna "JINGGA MENYALA" pada brand identity ini muncul sebagai core atau
INTI, yang memberi energi pada seluruh elemen yang ada di sekitarnya. Semua
elemen tersebut disatukan da lam energi tersebut dan menjadi suatu aliran
semangat yang akan membawa Perum Perhutani dan segenap karyawannya untuk
melesat ke masa depan mengarungi gelombang transformasi.

Warna "HIJAU LESTARI" melambangkan sebuah ekosistem yang hidup yang
menyangga tatanan kehidupan kita sebagai suatu sistem penyangga kehidupan
melalui pengelolaan lingkungan dan manajemen hutan yang berkesinambungan,
bertanggungjawab, dan lestari.

Warna "KUNING PANEN" melambangkan panen raya yang memberikan hasil bumi yang berlimpah untuk kesejahteraan rakyat, baik berupa Pangan maupun Pakan.

Warna "BIRU SEGAR" menggambarkan kemurnian air yang mengalir di dalam
hutan, memberikan kehid upan pada semua yang dilaluinya, yang mampu menghidupkan energi dan memberikan energi yang menghidupkan.

Warna "COKLAT KAYU" pada tulisan "PERHUTANI" mewakili bumi dan seluruh
sumber daya alam di atas dan di bawahnya.

Tulisan ini juga menggarisbawahi lambang di atasnya,
melambangkan ekspresi yang kuat dari komitmen PERUM PERHUTANI dalam meraihmasa depan yang lebih baik dan lebih cerah sebagai perusahaan pengelola
hutan secara berkesinambungan untuk kemajuan bangsa dan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia.

17 Lingkaran Berwarna-warni melambangkan Kesiapan dan Kemampuan Perum
Perhutani untuk mengelola Hutan Indonesia secara Lestari dan
Berkesinambungan.

Lingkaran Biru, Hijau dan Jingga yang membentuk "Bintang Manusia"
melambangkan Setiap Jajaran di Perum Perhutani yang secara profesional
bekerja bersama dengan penuh semangat mencapai tujuan Perusahaan.

Lingkaran JINGGA MENYALA yang berawal dari seluruh dengan panah mengarah keatas melambangkan Komitmen dan Semangat seluruh jajaran PERUM PERHUTANI untuk melakukan Transformasi dan Perbaikan terus-menerus demi mencapai VISI PERUSAHAAN.


Dari sudut pandang The Brand Union, sebuah BRAND POSITIONING merupakan carauntuk membantu suatu perusahaan untuk mendapatkan diferensiasi yang unik dan kokoh di mata konsumen dan seluruh stakeholder lainnya, yang
membedakannya dengan para pesaing.

Oleh karena itu, Brand Positioning dari Perum Perhutani harus mampu untuk:
- mengkomunikasikan secara jelas dan mudah tentang siapa Perum Perhutani
sebenarnya
- menggambarkan kenapa stakeholders perlu untuk berbisnis / berinteraksi
dengan Perum Perhutani
- menjelaskan perbedaan Perum Perhutani dengan perusahaan lainnya, baik
BUMN maupun swasta.
- memberikan inspirasi dan pengertian kepada para karyawan, dan dapat
memberikan arahan

Brand Positioning dari Perum Perhutani adalah: Creative Sustainability,
dengan brand attributes:

EXPERTISE
Expertise mencerminkan tradisi pengetahuan dan pengalaman Perhutani yang
tinggi dalam industri ini
ENTERPRISING
Terinspirasi oleh rasa keingintahuan yang dalam, semangat Enterprising kami
memandu kami untuk memaksimalkan fungsi hutan dan senantiasa meningkatkan
nilai jualnya
INVOLVING
Kehutanan perlu dimengerti, dirasakan, dan dihargai oleh semua. Oleh karena
itu, pribadi kami yang Involving memastikan bahwa kita akan selalu membagi
kekayaan dan manfaatnya
GENUINE
Karakter alami Perhutani yang Genuine mendukung fokus kami pada
sustainability dengan tulus dan terbuka dalam membangun kepercayaan dan
loyalitas stakeholders kami

CREATIVE SUSTAINABILITY bukanlah sebuah tagline, namun sebuah inti dari
brand Perum Perhutani. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Didorong oleh komitmen kami untuk mengeksplorasi lebih jauh di luar
pengelolaan kehutanan yang ada saat ini, kami adalah perusahaan pengelola
kehutanan kelas dunia yang berdedikasi untuk senantiasa meningkatkan nilai
hutan Indonesia dengan mengembangkan produk dan layanan
yang relevan dan juga kreatif.

Kami bertekad untuk memberikan inspirasi; meningkatkan kualitas hidup
seluruh pemangku kepentingan kita dengan beragam cara dengan tujuan
mencerahkan kehidupan, usaha, dan masa depan mereka



Brand positioning Creative Sustainability sangat penting dalam mewujudkan
masa depan yang lebih baik untuk bangsa kita, terutama terkait dengan
ketahanan FEW (Food, Energy, Water) di mana hutan Indonesia memegang
peranan penting di konteks lokal di daerah, namun juga bagian besar dari
ekosistem bumi.

Oleh karena itu, identitas korporasi atau Corporate Identity dari Perum
Perhutani merupakan simbol baru yang meng-sinyalkan transformasi yang
tengah dilakukan perusahaan dalam menghadapi
berbagai tantangan masa kini, dengan People - Planet - Profit yang
merupakan pendekatan dasar dari Perum Perhutani.

Warna "Vibrant Orange" pada brand identity ini muncul sebagai core atau
INTI, yang memberi energi pada seluruh elemen yang ada di sekitarnya. Semua
elemen tersebut disatukan dalam energi tersebut dan menjadi suatu aliran
semangat yang akan membawa Perum Perhutani dan segenap karyawannya untuk
melesat ke masa depan di dalam gelombang transformasi.

Warna "Environmental Green" melambangkan sebuah ekosistem yang hidup yang
menyangga tatanan kehidupan kita sebagai suatu life support system. Hal ini
dilakukan dengan mengelola bisnis lingkungan dengan sustainable dan
bertanggungjawab, dan dengan usaha-usaha pemeliharaan hutan.

Warna "Radiant Yellow" melambangkan panen, yang memberikan hasil bumi yang
berlimpah untuk kesejahteraan kita, antara lain dengan makanan dan pangan.

Warna "Cool Blue" menggambarkan kemurnian air yang mengalir di dalam hutan,
memberikan kehidupan pada semua yang ia lewati; memberikan energi kepada
hidup

Warna "Natural Brown" pada wordmark "PERHUTANI" mewakili bumi dan
keutuhannya. Wordmark ini juga menggarisbawahi icon di atasnya,
melambangkan ekspresi yang kuat dari komitmen PERUM PERHUTANI dalam meraih
masa depan yang lebih baik dan lebih cerah sebagai perusahaan pengelola
kehutanan yang sustainable untuk bangsa dan juga kemakmuran rakyat.

Minggu, Juni 20, 2010

RAT Primkokar KPH Banyumas Timur


KPH BANYUMAS TIMUR - Bertempat di Gedung Korpri Purwokerto Perum Perhutani KPH Banyumas Timur pada tanggal 12 Juni 2010 telah menyelenggarakan RAT tutup tahun buku 2009.
Ketua Primkokar KPH Banyumas Timur, S. Suparto dalam laporannya menyebutkan bahwa modal Koperasi sampai 2009 telah mencapai peningkatan sebesar Rp.576.786.085,- dari tahun 2008 sebesar Rp.525.613.747,-, dikatakan S.Suparto hal tersebut banyak berasal dari hasil jasa angkutan dan hasil penjualan madu dan minyak Kayu putih.
RAT tutup tahun buku 2009 tersebut juga dihadiri oleh Kepala Kantor Dekopinda Kabupaten Banyumas Bp.Drs.H.Nazhar Susanto dan Kepala Kantor Koperasi & UKM Kabupaten Banyumas H.Fatchuri.
Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa untuk lebih memajukan Koperasi dapat menempuh banyak cara antara lain mewajibkan setiap anggotanya untuk belanja setiap bulannya disamping mengaktifkan Simpan Pinjam.
Selain itu juga bisa melakukan kerjasama dengan bank dalam kaitan pemberian bantuan permodalan.
Demi untuk meningkatkan pengetahuan pengurus ada baiknya melakukan Studi banding ke Koperasi lain yang lebih maju.
Turut memberikan pengarahan Wakil Adm/KSKPH Banyumas Timur, Dedi Supriyadi,SHut.MM, yang mengatakan agar pengurus yang melaksanakan tugasnya jangan hanya setengah-setengah.
Karena menurut beliau tanpa adanya kerja keras yang baik dan ikhlas tidak mungkin usaha Koperasi bisa maju. Pengurus jangan bersifat apatis, melainkan harus dinamis dan aktif menyerap informasi-informasi tegasnya dan berharap Koperasi juga bisa mengembangkan usahanya di bidang pengadaan bibit dan persemaian.
Dalam pelaksanaan RAT tersebut juga diadakan pemilihan pengurus baru. Pemilihan pengurus Koperasi yang baru yang terpilih antara lain : Ketua Sukirno,SH, Sekretaris Sri Ekowulandari SP, bendahara Budi Purnomo dan Badan Pengawas Surwan dan Warihono, Pelantikan langsung dilakukan oleh Kepala Dekopinda Kabupaten Banyumas.-PQPA.

Senin, Juni 14, 2010

Tafaqur Alam Rimbawan Perhutani Banyumas Timur (Penghijauan di Puncak Gunung Slamet)


KPH Banyumas Timur - Aktivitas vuklanik Gunung Slamet sejak April 2009 telah meluluhlantakkan ribuan hektare (ha) tumbuh-tumbuhan vegetasi yang berada di batas vegetasi gunung dengan ketinggian 3.432 meter di atas permukaan laut (mdpl). Administratur Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur, Jawa Tengah (Jateng), Ir.Andi Riana,MSi (skg menjabat sebagai Adm/KKPH Cepu) mengatakan, ribuan hektar tumbuh-tumbuhan vegetasi yang musnah berada di wilayah petak 58 yang luas totalnya mencapai 8.000 hektar. "Dari luas itu 2.000 hektar rusak akibat aktivitas vulkanik," jelasnya.
Luberan material yang terlontar dari kawah gunung selama aktivitas gunung menyebabkan tumbuh-tumbuhan kerdil yang tumbuh di batas vegetasi rusak parah. Sebelumnya, di sekitar batas vegetasi yang melingkari lubang kawah itu berwarna hijau, namun kini sudah tidak lagi hijau tetapi berwarna coklat dan putih yang merupakan material vulkanik yang dimuntahkan dari Gunung Slamet.Dalam keadaan normal, biasanya di wilayah yang memiliki ketinggian di atas 3.000 mdpl tersebut ditandai dengan formasi cantigi, atau pohon kerdil yang biasa ditumbuhi edelweiss dan petai gunung atau kemlanding. Hasil survei tim dari Perhutani KPH Banyumas Timur di sekitar puncak Gunung Slamet beberapa waktu lalu. Sebelum sampai puncak gunung, pada jarak ratusan meter dari tanah lapang yang tidak ditumbuhi oleh tanaman karena tanahnya berbatu dan dipenuhi material vulkanik. Di bawahnya baru ditumbuhi tanaman perdu yang dikenal sebagai formasi cantigi. "Adanya aktivitas vulkanik yang meningkat menyebabkan ribuan ha formasi cantigi yang melingkari gunung mengalami kerusakan," katanya.wilayah setempat masuk dalam petak 58 dengan luas totalnya mencapai sekitar 8.000 ha. Dari luas tersebut, formasi cantigi memiliki luas sekitar 2.000 ha.
Sebagai akibat dari muntahan material tersebut yang mengakibatkan tumbuh-tumbuhan kerdil yang tumbuh di batas vegetasi rusak parah sangat perlu diperbaiki atau ditanami kembali. Untuk itu Perum Perhutani KPH Banyumas Timur sebagai KPH terdekat dengan Puncak Gunung Slamet di bagian selatan dengan dibawah komando langsung Administratur/KKPH Banyumas Timur Pada tanggal 4 Februari 2009 diadakanlah exspedisi "Tafaqur Alam Rimbawan Perhutani Banyumas Timur penanaman puncak gunung slamet" yg diikuti oleh sekitar 50-an orang terdiri dari karyawan KPH banyumas Timur, Pecinta alam beserta masyarakat sekitar.
Dikarenakan medan yang terjal dengan kemiringan hampir sekitar 45 derajat, penanaman dilakukan dengan cara dilempar/disebar menggunakan ketapel agar biji jatuh tepat sasaran pada tempat yang sesuai. Biji yang disebar terdiri dari Kaliandra dsb.
Perjalanan yang membutuhkan waktu jarak tempuh hampir sekitar sehari semalam benar-benar memberikan pengalaman yang berharga bagi kita semua, agar kita harus benar-benar menyadari betapa pentingnya sebuah hubungan simbiosis mutualiasme antara kita dengan alam. Dimana bila tidak kita yang menjaga alam, maka siapa lagi yang akan peduli terhadapnya?
Kita berharap semoga dengan adanya “Tafaqur Alam” ini, dapat menggugah muncul-nya tafaqur-tafaqur alam yang lainnya sehingga issue ttg global warming (pemanasan global) yang menjadi momok dunia dapat kita cegah sedari dini. Semua itu tak lain dan tak bukan adalah untuk kelangsungan anak cucu kita kelak.
Save our forest ‘n future world…

Senin, Januari 25, 2010

Pemanasan Global (Global Warming) - Oleh : PQPA




Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.

Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.

Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :

globalisasi ekonomi dan implikasinya,
otonomi daerah dan implikasinya,
penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
daur ulang hidrologi,
penanganan land subsidence,
pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
pemanasan global dan berbagai dampaknya.
Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.


Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua

Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai.
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).

Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :

sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.
Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.

Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :

Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.

Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.

Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.

Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :

Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.
- Mari Selamatkan anak cucu kita dari Pemanasan Global -
Berbagai sumber.
(diambil dari : http://geo.ugm.ac.id/archives/28)

Senin, Januari 18, 2010

Hutan Lereng Selatan Slamet Tetap Jadi Wilayah Tangkapan Air

Media Indonesia.com, 01/01/2010 - Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur, Jawa Tengah, bakal tetap mempertahankan hutan di lereng selatan Gunung Slamet sebagai daerah tangkapan air.
Upaya itu dilakukan karena wilayah tersebut merupakan sumber air bagi warga di Kabupaten Banyumas.
Administratur KPH Banyumas Timur Andi Riana mengatakan, hutan lereng Gunung Slamet bagian selatan terdiri dari hutan produksi dan lindung. "Meski sebagai hutan produksi, KPH Banyumas Timur tidak akan melakukan penebangan. Karena memang wilayah setempat sebagai catchment area," katanya dalam diskusi di Komunitas Peduli Slamet (Kompleet), Jumat (1/1).
Sebagai daerah tangkapan air, ujar Andi, KPH wajib mempertahankannya, sehingga secara khusus Perhutani tidak memiliki agenda untuk menebang.
Ia menyatakan, jika memang ada penebangan, harus merupakan sesuatu yang khusus. Misalnya, seperti di wilayah Baturraden yang akan ada penebangan pohon hutan produksi damar di area Kebun Raya Baturraden.
"Meski telah diizinkan untuk menebang sekitar 400 pohon di tempat tersebut, kami tetap minta supaya penebangan dilakukan secara bertahap. Kami tidak memperbolehkan penebangannya langsung 400 pohon," kata Andi.
Terkait dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di lereng sebelah selatan dan barat, Andi mengungkapkan bahwa sekarang masih dalam persiapan. Karena berada di wilayah hutan, katanya, akan ada koordinasi yang lebih komprehensif.

Ribuan Hektar Tanaman di Formasi Cantigi Gunung Slamet Rusak Parah

Pikiran Rakyat Online, 29/12/2009 - Aktivitas vuklanik Gunung Slamet sejak April telah meluluhlantakkan ribuan hektare (ha) tumbuh-tumbuhan vegetasi yang berada di batas vegetasi gunung dengan ketinggian 3.432 meter di atas permukaan laut (mdpl). Aktivitas Gunung Slamet meningkat sejak 23 April 2009.
Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur, Jawa Tengah (Jateng), Andi Riana, mengatakan, ribuan hektar tumbuh-tumbuhan vegetasi yang musnah berada di wilayah petak 58 yang luas totalnya mencapai 8.000 hektar. "Dari luas itu 2.000 hektar rusak akibat aktivitas vulkanik," jelasnya, Selasa (2912).
Luberan material yang terlontar dari kawah gunung selama aktivitas gunung menyebabkan tumbuh-tumbuhan kerdil yang tumbuh di batas vegetasi rusak parah. Sebelumnya, di sekitar batas vegetasi yang melingkari lubang kawah itu berwarna hijau, namun kini sudah tidak lagi hijau tetapi berwarna coklat dan putih yang merupakan material vulkanik yang dimuntahkan dari Gunung Slamet.
Dalam keadaan normal, biasanya di wilayah yang memiliki ketinggian di atas 3.000 mdpl tersebut ditandai dengan formasi cantigi, atau pohon kerdil yang biasa ditumbuhi edelweiss dan petai gunung atau kemlanding.
Hasil survei tim dari Perhutani KPH Banyumas Timur di sekitar puncak Gunung Slamet beberapa waktu lalu. Sebelum sampai puncak gunung, pada jarak ratusan meter dari tanah lapang yang tidak ditumbuhi oleh tanaman karena tanahnya berbatu dan dipenuhi material vulkanik. Di bawahnya baru ditumbuhi tanaman perdu yang dikenal sebagai formasi cantigi. "Adanya aktivitas vulkanik yang meningkat menyebabkan ribuan ha formasi cantigi yang melingkari gunung mengalami kerusakan," katanya.
Menurut Andi, wilayah setempat masuk dalam petak 58 dengan luas totalnya mencapai sekitar 8.000 ha. Dari luas tersebut, formasi cantigi memiliki luas sekitar 2.000 ha.
Rencananya pada areal formasi cantigi akan ditanam tanaman petani gunung atau kemlanding. Pohon ini berbuna untuk mencegah longsoran material vilkanik yang kini sudah menggunung di sekitar kawah. Keuntungan formasi cantigi juga berfungsi melindungi pendaki dari terjangan badai.
Diakui, penanaman tananam di batas vegetasi untuk kondisi saat ini memang belum memungkinkan, karena kondisinya belum aman betul, lontaran lava masih berlangsung "Nanti, kalau sudah berangsur-angsur aman, kami akan bekerja sama dengan masyarakat melakukan penanaman tumbuhan pada wilayah yang rusak tersebut," jelas Andi.

Selasa, September 29, 2009

Arenisasi KPH Banyumas Timur

Bina Edisi 07/September 2009 - KPH Banyumas Timur yang wilayahnya sebagian luas berada di kaki Gunung Slamet, diatas 750 dpl, merupakan daerah yang sub DAS dan beberapa DAS besar seperti Serayu, memiliki kekayaan flora dan fauna. Bahkan dari kakayaan hayati yang ada, termasuk DAS yang ada telah dikelola, menjadi asset tersendiri bagi KPH yang masih berstatus KPH Pembangunan ini.  Mengingat, sebagai hulu yang mempengaruhi kondisi iklim dan ketersediaan air, diperlukan perlindungan terhadap daerah-daerah tertentu untuk mencukupi kebutuhan ekologi dan air bagi masyarakat, terutama yang ada diperkotaan dan daerah hilir. Sebagai upaya melindungi ketersediaan kebutuhan ekologi dan air, KPH Banyumas Timur telah dan terus melakukan penanaman pohon aren pada daerah-daerah tertentu, terutama sepanjang sungai dan sumber-sumber mata air.

 


Sedikitnya 5.000 batang pohon aren dalam waktu dekat ini, telah tertanam di wilayah KPH Banyumas Timur. Selain itu, menurut Adm/KKPH Banyumas Timur, Ir.Andi Riana,MSi, didampingi Wakil Adm Ir. Teguh Jati, Kaur Humas Suparto, mengatakan, selain aspek konservasi terutama di kawasan Gunung Slamet Barat (Baturaden), dan Karangkobar, juga dalam upaya menghidupkan kembali sentra-sentra kerajinan gula aren yang banyak didapat di wilayah ini.Menurut Ir.Andi Riana,MSi, tahun 2008, telah tertanam pohon aren seluas 99,4 ha dan tahun ini 2009 seluas 79,2 ha dengan jarak tanam 7x7 m sepanjang tepi sungai yang dimaksudkan sebagai Kawasan Perlindungan Setempat (KPS). Dibudidayakannya aren, karena pohon ini sangat tepat sebagai pelindung sumber air, juga sudah banyak terdapat di kawasan hutan KPH Banyumas Timur. Hingga saat ini, dilaksanakan cara cemplongan. Namun pasti, nantinya bisa di-PHBM-kan, mengingat lokasi tanaman, juga berada pada kawasan PHBM yang dikelola LMDH, mengingat lokasi tanaman, juga berada pada kawasan PHBM yang dikelola LMDH. Mengingat, selain sebagai konservasi, perlindungan air, aren juga bisa sebagai bahan pangan, juga bisa jadi bahan industri energi, sebagai Bio Etanol, Ujar Andi.Ditambahkannya, keanekaragaman hayati KPH Banyumas Timur, mencakup flora banyak tumbuh tanaman dan bunga termasuk sangat spesifik, yaitu Bunga Kantong Semar. Dalam kekayaan flora, diwujudkan dengan dimilikinya kebun raya. Kekayaan fauna masih terdapatnya banyak rusa, secara otomatis, kalau masih banyak rusa, juga dipastikan ada harimau, juga dimungkinkan masih terdapat badak bercula satu di perbatasan Brebes, seperti dikatakan masyarakat Cipendok.Selain kekayaan itu, KPH Banyumas memiliki kekayaan sekaligus keindahan alamnya yang menjadi objek-objek wisata, seperti sumber air panas pancuran tiga, pancuran tujuh, tlaga sunyi sebagai sumber mata air dan wana wisata. Wisata religius, padepokan jambu 5 dan jembe 7 di Gunung Selaok. Air terjun, Curug Cipendok juga kawasan lindung, dengan tanaman dammar yang sangat rimbun dan menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan di Baturaden. Bahkan, KPH Banyumas Timur ini juga memiliki potensi panas bumi. Semua ini, menjadikan banyak pihak merasa bergantung dan memiliki sehingga mereka juga ikut bertanggung jawab menjaga keamanan asset-aset Perhutani tersebut. Makanya, kondisi keamana cukup mantap, dengan indikasi trend menurunnya tingkat kerawanan hutan yang ada. Ini semua tidak lepas dari jalannya dan kontribusi LMDH yang melaksanakan PHBMnya. Kasus tenurial, di KPH Banyumas Timur, juga tidak menonjol, tidak seperti di wilayah lain.Sebelum mengakhiri perbincangannya dengan BINA, Suparto, Kaur Humas yang mendampingi Ir.Andi Riana,Msi, menyebutkan aset wisata yang dimiliki oleh KPH Banyumas Timur antara lain adalah :Traditional Javanese Aromatheraphy SPA, Hotel dan Villa, Air panas pancuran 7 dan 3, Wana Wisata dan Kebun Raya, Telaga Sunyi, Outbond centre, wisata desa, Jungle track dan wisata anak cerdas serta Program Penghijauan serta obyek-obyek menarik lainnya yang laik untuk dikembangkan.-PQPA